belajar bukan untuk ujian

Bukan Belajar Untuk Ujian

Ketika Dunia Belajar tentang pada Finlandia
Beberapa tahun terakhir, dunia tersentak dengan fenomena pendidikan di Finlandia. Secara konsisten negeri itu menempati posisi teratas sistim pendidikan terbaik di dunia. Pengakuan ini bukan sekadar klaim kosong belaka, akan tetapi berdasarkan sebuah tes dan survei internasional yang dilakukan kepada para siswa di banyak negara.
Adalah Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang menjalankan tes bernama PISA. PISA (Programe Internationale for Student Assessment) menjadi alat pengukur kompetensi siswa dalam bidang matematika, sains, dan literasi. Tes diperuntukan bagi siswa usia 15 tahun tiap tiga tahun sekali. PISA dirancang untuk menguji kemampuan siswa berpikir dan mengaplikasikan teori-teori, bukan menguji hafalan teori saja. Dengan konsistensi sebagai peraih posisi puncak dalam PISA, artinya, siswa Finlandia telah menguasai ranah kognitif tertinggi. Inilah mengapa banyak pemerhati dan pakar pendidikan tertarik dengan tata pendidikan Finlandia.
Banyak sudah artikel berbicara bagaimana pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat Finlandia mendidik anak-anaknya. Ada artikel tentang guru di Finlandia. Ada pula cerita mengenai otoritas pendidikan yang imun terhadap sistem perpolitikan negara Finlandia sendiri. Namun, ulasan singkat Pasi Sahlberg, professor tamu di Fakultas Pendidikan Harvard dan mantan direktur jendral di kementrian pendidikan Finlandia lebih mencuri ketertarikan saya.
Di laman Washington Post, Sahlberg menguraikan bahwa sekolah-sekolah membuat ujian mereka masing-masing. Kepala sekolah dan guru tidak hanya bertanggung jawab mengajar, akan tetapi juga bertanggung jawab memberi penilaian. Dapat disimpulkan, sekolah diberi kebebasan sekaligus tanggung jawab untuk merancang sistem penilaian sendiri termasuk ujiannya. Wajar dalam logika bila mengingat yang merancang kurikulum adalah guru sendiri.
Pendidikan di FInlandiaHal ini membetulkan kekeliruan prasangka bahwa tak ada ujian di sekolah-sekolah Finlandia. Para siswa di sana tetap menghadapi ujian. Toh bagaimanapun, ujian itu punya peran penting dalam proses penilaian pendidikan. Hanya saja di Finlandia, siswa mendapati soal-soal ujian made in gurunya sendiri. Dan guru mempunyai kebebasan membut model soal ujian. Hingga satu sekolah dengan sekolah lain mempunyai model dan soal ujian berbeda.
Sahlberg menekankan bahwa pendidikan Finlandia hanya menghindari anak-anaknya dari model ujian terstandarisasi (standardized test). Selama menjadi pelajar, siswa hanya akan mengikuti satu buah ujian tersandarisasi; yakni ujian untuk lulus SMA dan masuk perguruan tinggi. Mereka menyebutnya National Matriculation Exam (Ujian Materikulasi Nasional). Ujian tersebut disambut antusias para pelajar sebagai inisiasi menuju tahap kematangan seorang pelajar dalam dunia pendidikan.

Kritik terhadap Ujian Terstandarisasi
Standardized test atau tes terstandarisasi sederhananya didefinisikan sebagai penyeragaman penyelenggaraan dan penilaian ujian. Sehingga, setiap siswa di sekolah berbeda akan mendapatkan model dan soal yang sama saat ujian. Begitu pula penilaiannya; tak ada beda antara siswa sekolah A dengan siswa sekolah B. Ada pro kontra berkaitan dengan ujian ini. Sebagian memandang ujian terstandar merupakan terobosan pendidikan, sebagian lain menyebut penghambat pendidikan.
Sebuah lembaga profit spesialis ujian terstandarisasi asal Inggris, Person Education, menjelaskan tentang bagaimana ujian terstandar itu relevan dipakai di sekolah-sekolah. Lewat laman websitenya, mereka menjelaskan bahwa ujian terstandar dibuat dengan perancanaan yang matang. Soal-soal disusun berdasarkan standar isi pendidikan; sesuai dengan konsep yang dikembangkan oleh pemerintah. Soal tersebut juga melalui proses uji lapangan sehingga kualitasnya terjamin.
Namun, penjelasan tersebut belum bisa menghilangkan kritik-kritik terhadap model ujian tersebut. Kritik muncul karena ujian terstandar tidak menempatkan siswa dalam perancangan soal. Hanya berpatok pada standar pencapaian rancangan pemerintah. Sebuah pertanyaan mendasar muncul dan belum menemukan jawaban memuaskan dari ujian terstandar; bisakah semua siswa dianggap homogen? Apakah objektif menyamaratakan semua siswa?
Banyak pula pengamat pendidikan mengulas efek samping ujian terstandar terhadap proses belajar mengajar. Terlebih ketika pengukuran keberhasilan seorang guru adalah seberapa banyak anak didiknya lulus ujian. Bila banyak siswanya lulus, berarti guru dengan kompetensi dan professional tinggi. Dan kalau sedikit, berarti minim atau tak ada kompetesi.
Tentu akan buruk efeknya dalam kelas. Guru terfokus bagaimana anak muridnya lulus ujian. Tingkat stres guru pun akan meningkat karenanya. Ketakutan akan konduite jelek karena cemas terhadap kemampuan siswa menjawab soal. Stres guru akan menular ke siswa, dan proses belajar mengajar akan hilang khusuknya.

 

Penilaian dalam Pendidikan Kita
Secara teori, ada tiga tujuan dari ujian. 1) Ujian formatif, ujian yang berfungsi untuk memonitor kemajuan belajar selama proses belajar. 2) Ujian sumatif, berfungsi untuk mengetahui pencapaian siswa terhadap bidang tertenu. 3) Ujian diagnostic, ujian untuk mengetahui penyebab kesulitan yang dihadapi oleh siswa. 4) Ujian penempatan, merupakan ujian untuk melakukan klasifikasi siswa berdasarkan kemampuannya.
Dalam sistem pendidikan Indonesia, pemerintah telah menyusun arahan berkaiatan dengan penilaian siswa di sekolah. Berdasarkan Permendikbud No. 23 Th. 2016, penilian ditujukan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Dan proses pengukuran itu, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, terdiri dari tiga jenis:
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik. Penilaian ini dilakukan oleh guru mata pelajaran dengan berpedoman pada RPP. Dalam prakteknya, kita mengenal ujian ulangan harian.
2. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan. Ini merupakan penilaian yang dilakukan pada tingkat sekolah sekolah.
3. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Penilaian ini diselenggarakan pada level pemerintah. Sehingga, semua siswa mendapati ujian terstandarisasi.
Merujuk pada Permendikbud tersebut, terlihat hanya pada penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang berupa ujian terstandarisasi. Siswa di seluruh pelosok dianggap sama kemampuannya; sehingga siswa di pelosok Sumatera diuji dengan soal yang sama dengan siswa di pusat pemerintahan. Oleh karena itu, keobjektifannya terasa kurang. Sebagian orang akan berargumen bahwa ada standar kompetensi, kompetensi standar, dan juga kisi-kisi soal. Semua itu telah diketahui guru dan seharusnya telah diajarkan serta dikuasai oleh siswa. Namun, kendala di kelas tentu dihitung pula; termasuk daya serap siswa dan sarana prasarana sekolah.

Terobosan Penilaian Pendidikan di Sekolah Kota Padang
Pada awal, telah disampaikan penjelasan Sahlberg berkaitan salah satu cara membuat pendidikan Finlandia meroket. Siswa dihindari dari ujian-ujian terstandarisasi. Bukan karena haram, tapi dipercaya akan menghambat laju perkembangan peserta didik. Banyak mudharatnya dibanding manfaat. Dan pilihan tersebut dipercaya sebagai salah satu faktor keberhasilan siswa Finlandia.
Berkaca pada sudut pandang tersebut, sangat disayangkan melihat penilaian sekolah di kota Padang; melulu ujian terstandarisasi. Ujian tengah semester dan semester yang dikelola oleh sekolah pun hakikatnya bukan rancangan guru di sekolah. Rancangan dan pengembangan soal dikelola oleh perwakilan MGMP mata pelajaran. Ditulis berdasar kisi-kisi yang disarikan dari kurikulum. Setelah selesai, soal-soal tersebut didistribusikan kepada semua sekolah. Dan berakhir di meja para semua siswa di kota Padang. Ini jelas ujian terstandarisasi.
Buruk tidaknya tata kelola ujian yang telah kita lakukan tentu subjektif. Terlebih, sejauh ini belum ada terdengar penelitian ilmiah berkaitan efek ujian terstandarisasi dengan laju pencapaian siswa kota Padang. Di samping itu, ujian terstandarisasi tidak pula buruk atau tidak perlu. Toh, Negara maju saja masih menerapkan hal tersebut; bahkan lebih ekstrim dengan perancang dan pembuat soal bukan guru tetapi orang-orang lembaga pendidikan profit.
Namun, sebagai darah Minangkabau, belajar hal-hal baik yang tersebar di muka bumi adalah nature kita. Alam takambang jadi guru, ajar pepatah tua tapi tak pernah usang. Salah satunya, mengadopsi tata kelola ujian dari Finlandia. Padang sebagai pusat provinsi Sumatera Barat, punya sumber daya manusia untuk melakukan terobosan-terobosan seperti itu. Mengembalikan semua proses penilaian siswa kepada guru mereka masing-masing; terkhusus ujian.
Tentu saja, tidak seperti membalik telapak tangan. Secara perlahan, kompetensi guru dibina dan dikembangkan. Terkhusus, pengembangan kompetensi guru dalam penilaian. Bagaimana merancang soal, bagaimana menilai hasil ujian, hingga cara melakukan analisis dan pelaporan. Hingga tiap guru bisa melakukan proses penilaian yang objektif terhadap siswanya sendiri. Dengan begitu, guru tidak lagi dirundung cemas dan mengajar siswa hanya untuk mengahadapi soal ujian.
Di samping itu, ujian terstandarisasi tetap perlu diadakan. Sebagai cermin dan bahan pemetaan; sebagaimana fungsi seharusnya. Tetap butuh kita, hanya saja durasinya dikurangi. Sekali dalam satu tahun pelajaran adalah durasi yang pas untuk melakukannya. Lewat hasil ujian itu, guru, sekolah dan pemerintah kota bisa menganalisis kondisi pencapaian siswa dalam satu periode waktu pendidikan.
Di saat dunia pendidikan tergila-gila pada ujian terstandarisasi dengan persepsi model ujian yang cocok bagi perkembangan siswa, Finlandia menafikannya. Mereka berani melakukan terobosan. Dan mereka pun memberikan bukti positif nan nyata. Padang dipenuhi dengan banyak talenta berkompeten dalam pendidikan; apa takutnya melakukan terobosan. Terobosan dengan harapan suatu hari nanti, anak-anak kita mempunyai kecederdasan teori dan aplikatif.

 

Penulis: Rifki Ferdiansyah
(tulisan diikutsertakan dalam lomba menulis artikel MKKS SMPN se-Kota Padanga tahun 2017)

Rifki

English Teacher and Vice Headmaster at Junior High School 20 Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts